Universitas Gadjah Mada Nama Instansi
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Artikel
  • Cagar Budaya
Arsip:

Cagar Budaya

Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran

ArtikelCagar Budaya Monday, 13 April 2020

Kontributor: Annamaria T. M.

Editor: Cerry Surya Pradana

Tampak Depan Gereja & Candi Ganjuran
Sumber : Dokumentasi Muhammad Aula Affan

      Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran atau yang kerap disebut dengan Gereja Ganjuran merupakan Gereja Katolik Roma yang berada di Jalan Ganjuran, Sumbermulyo, Bambanglipura, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta 55764. Gereja ini terkenal dengan arsitektur bangunan yang merupakan akulturasi budaya Jawa dan Hindu. Akulturasi budaya Jawa disuguhkan dalam bentuk joglo sebagai gaya arsitektur Gereja, dan budaya Hindu dalam Candi di mana di dalamnya terdapat patung Yesus dalam busana kebesaran Jawa. Dikarenakan keunikannya ini, gereja tersebut memiliki banyak pengunjung, baik pengunjung yang akan ibadah, maupun pengunjung yang berwisata. Oleh karena itu, gereja ini juga terbuka bagi penganut non-Katolik yang ingin melihat keindahan arsitektur di gereja ini.

SEJARAH

     Ganjuran berkembang ketika ada pengusaha dari Belanda, yang bernama Gulferd Schmutzer yang mendirikan pabrik gula bernama Gondanglipuro pada tahun 1860an. Kemudian pada tahun 1912 pabrik itu diserahkan kepada anaknya, yaitu Julius dan Joseph Schmutzer. Schmutzer bersaudara ingin menunjukan bahwa tidak semua orang Belanda yang datang ke Indonesia untuk menjajah. Maka ketika pengelolaan pabrik ditangani oleh Julius dan Joseph Schmutzer ini, beliau menerapkan Ajaran Sosial Gereja, yaitu tentang rerrum novarrum, yang bertumpu pada perhatian terhadap para buruh dan kaum lemah yang dianggap sebagai pekerja kasar.

     Untuk memperkenalkan ajaran Katolik, Schmutzer mempunyai konsep yang bertujuan agar masyarakat mudah memahami iman Katolik, terlebih tentang siapa Yesus. Yesus dihadirkan dan di-inkulturasikan dalam budaya Jawa dengan membuat patung–patung (arca) Hati Kudus Yesus sebagai ‘Raja Jawa’, dengan pakaian kebesarannya. Lalu Schmutzer minta izin kepada Paus, untuk membuat patung Yesus yang bernuansa Jawa. Seiring berkembangnya waktu ada tiga patung yang terpampang di dalam gereja, yaitu ada patung Yesus, Bunda Maria, dan Malaikat.

Patung Yesus dalam Candi Hati Kudus Yesus
Sumber: Dokumentasi Muhammad Maula Affan

     Kemudian pada tahun 1924, Schmutzer mendirikan gereja. Keinginan dari Schmutzer untuk membangun sebuah gedung gereja dengan mempunyai ciri khas bangunan Jawa tertunda sehingga gereja masih berbentuk gedung seperti pada umumnya dikarenakan adanya keterbatasan finansial. Gedung gereja pada akhirnya didirikan pada 16 April 1924.

     Pada tahun 1927, sebagai ucapan syukur kepada Hati Kudus Yesus, Schmutzer mendirikan sebuah prasasti. Dalam membuat prasasti ini pun, juga terinspirasi dari apa yang diilhami dari budaya adat istiadat setempat. Kemudian Schmutzer juga membuat tempat berdoa pada Hati Kudus, yang mana tempat berdoa tersebut berupa candi. Di dalam candi itu ditahtakan Patung Hati Kudus Tuhan Yesus sebagai tempat berdoa yang berdevosi (KBBI: kebaktian yang tidak resmi, msial doa rosario dan penghormatan kepada santo) kepada Hati Kudus Tuhan Yesus.

    Keunikan Gereja Ganjuran sangat terlihat pada bangunan yang memiliki akulturasi antara Eropa, budaya Jawa dan Hindu. Budaya Jawa dihadirkan dengan adanya Yesus dengan busana adat kebesaran Jawa. Patung tersebut terdapat pula di Candi dengan nuansa Hindu. Tak hanya patung Yesus namun juga ada Patung Malaikat dan juga Bunda Maria dalam busana Jawa. Dengan acuan konsep inkulturasi budaya Jawa terhadap gereja yang dicantaskan oleh Scmutzer bersaudara, dibuatlah Gereja dengan nuansa Joglo dengan ornament-ornamen khas Kraton.

Ruang Utama Gereja Ganjuran yang Kental Nuansa Jawa
Sumber: Dokumentasi Muhammad Maula Affan

     Selain itu terdapat mata air di bawah candi yang biasa didoakan oleh para peziarah dengan harapan dapat menemukan kesembuhan bagi yang sakit. Mata air tersebut sudah dialokasikan dengan bantuan 9 keran di dekat candi. Beberapa peziarah pun kemudian membawa pulang atau meminum air tersebut dalam sebuah botol atau dirijen kecil setelah didoakan. Air tersebut dipercaya memberikan khasiat pengantara pengabulan doa oleh Yang Maha Esa.

 

 

 

 

Candi Hati Kudus Yesus Ganjuran (kiri) dan Ruang Utama Gereja Ganjuran (kanan)
Sumber: Dokumentasi Anisah Rizki Paramitha

PEMANFAATAN MASA KINI

     Saat ini bagunan utama gereja berfungsi sebagai tempat ibadah. Candi juga dapat digunakan untuk ibadah, namun fungsi utama nya sebagai tempat berdoa dan berdevosi kepada hati kudus Yesus. Kapel Adorasi berfungsi sebagai tempat berdoa dan penghormatan terhadap  sakramen Maha Kudus. Kemudian, terdapat patung Bunda Maria yang digambarkan dengan nuansa Jawa yang berfungsi sebagai tempat berdoa dengan berdevosi kepada Bunda Maria.

     Terdapat juga beberapa pendopo untuk tempat transit wisatawan.  beberapa pendopo yang dapat digunakan untuk beristirahat wisatawan yaitu Pendopo Julius Schmutzer, Joseph Schmutzer, Caroline Schmutzer. Nama pendopo tersebut diambil dari nama-nama tokoh penting dalam berdirinya Gereja Ganjuran. Selain itu ada pendopo kecil bernama Pendopo Tekle atau Sarjiyem. Nama pendopo ini diambil dari orang bernama Yu Tekle seorang yang cacat tangannya, yang sering membantu membersihkan gereja ini. Sebetulnya namanya bukan Tekle, hanya sebutan saja, karena tangannya cacat.

Altar Gereja Ganjuran
Sumber: Dokumentasi Muhammad Maula Affan

FASILITAS

     Fasilitas yang dapat ditemukan di Gereja Ganjuran yaitu Kapel Adorasi, sekretariat gereja, pendopo peziarah, klahan parkir, toilet, dan toko suvenir. Gereja Ganjuran dikenal pula sebagai tempat ziarah yang nyaman, di mana peziarah dapat merasakan kesejukan, kerindangan, dan keheningan secara bersamaan. Selain itu di luar Gereja terdapat jajaran warung kelontong yang menyediakan kelengkapan rohani dan terdapat beberapa tempat makan.

Salah satu Ruang Transit untuk Umum di Gereja Ganjuran
Sumber: Dokumentasi Muhammad Maula Affan

    Gereja Ganjuran sangat terbuka sebagai tempat ibadah. Pengunjung bebas berkunjung kapan pun dikarenakan tidak ada jam buka di Gereja Ganjuran. Peziarah dapat beristirahat di pendopo dengan beberapa syarat dan ketentuan yang sudah dipasang di tiap sisi pendopo. Hanya saja apabila sedang ada ekaristi/ ibadah, diharapkan peziarah menjaga keheningan dan tidak diperkenankan untuk naik ke Candi Hati Kudus Yesus. Hal tersebut dikarenakan ekaristi merupakan peristiwa sacral di mana menghadirkan Sakramen Maha Kudus.

LOKASI
[mappress mapid=”18″]

Daftar Pustaka

Utomo, Gregorius. (2011). The Church of the Sacred Heart of Jesus at Ganjuran. Yogyakarta: Unggul Jaya.

Sumber Internet

Idzni, Zahrina. (2016). Gereja Ganjuran, Wisata Rohani Katolik di Bantul, diakses dari https://merahputih.com/post/read/gereja-ganjuran-wisata-rohani-katolik-di-bantul, diakses pada 1 Desember 2019.

Sugiyarto (ed). (2018). Uniknya Gereja Ganjuran Bantul, Akulturasi Indah Antara Jawa, Hindu-Buddha, dan Eropa, diakses dari https://www.tribunnews.com/regional/2018/03/06/uniknya-gereja-ganjuran-bantul-akulturasi-indah-antara-jawa-hindu-buddha-dan-eropa?page=4, diakses pada 3 Desember 2019.

Narasumber

Aris Dwiyanto, selaku Sekretaris Pelayanan Peziarah di Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran.

Masjid Pathok Negoro Dongkelan Yogyakarta

ArtikelCagar Budaya Wednesday, 29 January 2020

Penulis: Muhammad Dwi Perbatasari
Editor: Cerry Surya Pradana

PENGANTAR

Tanda Masjid Pathok Negoro Dongkelan
Sumber Dokumentasi : Muhammad Dwi Perbatasari

     Masjid Pathok Negoro ini merupakan salah satu bagian dari Kasultanan Yogyakarta yang patut diapresiasi. Dalam istilah Jawa, pathok adalah kayu atau bambu yang ditancapkan sebagai penanda. Adapun negari / negara / negoro adalah wilayah kerajaan. Jadi, Masjid Pathok Negoro merupakan sebuah tanda batas kekuasaan raja.

   Kelima masjid Pathok Negoro tersebut tersebar di lima titik yang menjadi batas wilayah Kasultanan Yogyakarta. Kelimanya dapat dilihat dalam tabel berikut :

Tabel Lokasi Masjid Pathok Negoro di Yogyakarta

Arah Mata Angin Nama Masjid Pathok Negoro Wilayah Administrasi
Barat Masjid An-Nur Mlangi Kecamatan Gamping, Sleman
Utara Masjid Sulthoni Plosokuning Kecamatan Ngaglik, Sleman
Timur Masjid Ad-Darojat Babadan Kecamatan Banguntapan, Bantul
Selatan Masjid Nurul Huda Dongkelan Kecamatan Kasihan, Bantul
Tenggara Masjid Wonokromo Kecamatan Pleret, Bantul

SEJARAH

    Masjid Pathok Negoro Dongkelan. Masjid ini didirikan pada tahun 1775 Masehi, bersamaan dengan dibangunnya serambi Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta. Bangunan masjid berada di atas lahan seluas 1.000 meter2. Sementara fisik bangunannya hanya menggunakan lahan seluas 100 meter persegi. Bangunannya terbagi atas dua, yakni bagian utama dan serambi bangunan. Bangunan utamanya seluas 10 x 10 meter. Sementara serambinya seluas 7 x 14 meter.

Masjid Pathok Negoro Dongkelan Tampak Depan
Sumber Dokumentasi : Muhammad Dwi Perbatasari

   Pendirian masjid ini merupakan penghormatan terhadap Kyai Sayihabuddin atau Syeh Abuddin atas jasa-jasanya terhadap Sultan Hamengkubuwono I ketika berkonflik dengan Raden Mas Said atau Sri Mangkunegara yang berjuluk Pangeran Sambernyawa.

Bagian Dalam Masjid Pathok Negoro Dongkelan
Sumber Dokumentasi : Muhammad Dwi Perbatasari

     Pada awalnya, bentuk dan tatanan Masjid Pathok Negoro Dongkelan menyerupai Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta. Bahkan bagian-bagian masjid pun seperti kolam keliling, atap, makam di samping masjid, sama seperti tatanan dalam Masjid Gedhe Kauman. Namun saat ini telah terjadi banyak perubahan, seperti sudah tidak adanya kolam keliling, diganti dengan bangunan sekolah dasar.

    Di sebelah barat masjid pathok negoro dongkelan terdapat makam para leluhur dari masjid ini, salah satu tokoh yang dimakamkan di makam di makam ini adalah KH. Munawwir Abdul Fatah yaitu salah salah seorang pendiri Pondok Pesantern al-Munawwir di Krapyak.

Gapura Makam di Barat Masjid (Bawah) dan Penampakan Area Arah Menuju Makam (Atas)
Sumber Dokumentasi : Muhammad Dwi Perbatasari

 

    Salah satu fungsi Masjid Pathok Negoro adalah sebagai benteng pertahanan. Masjid ini juga berfungsi sebagai pemberi tanda jika ada serangan dari musuh. Masjid ini dibakar oleh pihak Belanda pada masa perang Pangeran Diponegoro yang terjadi pada tahun 1825, hingga hanya menyisakan batu penyangga tiang masjid (umpak). Masjid tersebut dibangun kembali dengan sangat sederhana. Atap masjid hanya terbuat dari ijuk dengan mustaka (hiasan di puncak atap masjid) dari tanah liat. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VII, masjid ini dibangun kembali, yaitu pada tahun 1901. Bentuk bangunan masjid dibuat seperti semula. Kemudian pada tahun 1948 dilakukan pembangunan serambi masjid. Selanjutnya di tahun-tahun berikutnya, Masjid Pathok Negoro Dongkelan mengalami 4 kali renovasi.

Prasasti Rehabilitasi Bangun Masjid Pathok Negoro Dongkelan
Sumber Dokumentasi : Muhammad Dwi Perbatasari

KEUNIKAN

     Keunikan dari Masjid Pathok Negoro Dongkelan yaitu adalah dari segi arsitekturnya yang juga mirip dengan Masjid Pathok Negoro lainnya. Yang pertama yaitu dari atapnya tumpang / atap bertingkat. Atap tumpang ini melambangkan yakni roh atau hakikatnya amal perbuatan seseorang. Empat kolom utama berukuran besar yang berada di tengah ruangan adalah soko guru yang merupakan ciri khas bangunan berbentuk joglo pada rumah tradisional Jawa yang berfungsi untuk menopang atap. Tumpangsari merupakan konsekuensi dari wujud atap tumpang yang ditopang oleh soko guru, di mana di dalamnya menjadi penting karena bagian atap pada area ini merupakan bagian yang menjulang sebagai perlambangan ke-Tuhanan.

    Kemudian ada undakan pada setiap Masjid Pathok Negoro, yang mana undak-undak ini memiliki arti yaitu tahapan proses mencapai pengampunan Allah. Selain itu, undakan ini merupakan interpretasi dari konsep ruang yang menganggap ruang yang lebih tinggi adalah ruang yang lebih sakral bagi orang Jawa.

PEMANFAATAN MASA KINI

     Untuk saat ini Masjid Pathok Negoro Dongkelan tidak hanya untuk tempat beribadah bagi umat Islam akan tetapi juga sudah banyak memiliki fungsi lain yaitu sebagai tempat untuk acara pernikahan, rapat RT / RW sekitar, pengajian, bahkan juga dibuka untuk kegiatan wisata religi di area masjid dan makam.

Bersama Bapak Bustami, Pengurus Masjid Pathok Negoro Dongkelan
Sumber Dokumentasi : Muhammad Dwi Perbatasari

BIAYA MASUK

     Tidak ada biaya masuk atau semacam tiket alias, termasuk tidak adanya biaya parkir hingga saat ini. Bahkan kegiatan wisata religi yang diselenggarakan di tempat ini juga tidak dipungut biaya.

DENAH LOKASI

[mappress mapid=”16″]

 

 

DAFTAR LITERATUR:

Aulia, Rizki. 2013. Makna Simbolik Arsitektur Masjid Pathok Negoro Sulthoni Plosokuning Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Abror, Indal. (2016). “Aktualisasi Nilai-Nilai Budaya Masjid Pathok Negoro”, Jurnal Esensia, Vol.17, No.1.

Bangkitmedia.com. (2019). Masjid Pathok Negoro Batas Wilayah Kesultanan Islam Yogyakarta, diakses dari https://bangkitmedia.com/masjid-pathok-negoro-batas-wilayah-kesultanan-islam-yogyakarta/, pada 5 Desember 2019.

Gunawan. Hendra. (2010). Masjid Pathok Negoro Nurul Huda Dongkelan, diakses di https://bujangmasjid.blogspot.com/2010/09/masjid-pathok-negoro-nurul-huda.html, pada 5 Desember 2019.

Immanuel. (2017). 5 Masjid Pathok Negoro Yogyakarta Ini Sudah Tahukah Kamu?, diakses di https://www.tuguwisata.com/masjid-pathok-negoro-yogyakarta/, pada 5 Desember 2019.

DAFTAR NARASUMBER:

Bapak Bustami, Pengurus Masjid Pathok Negoro Dongkelan

 

 

Masjid Kagungan Dalem Keraton “Saka Tunggal” Yogyakarta

ArtikelCagar Budaya Saturday, 25 January 2020

Penulis: Anisah Rizki Paramita
Editor: Cerry Surya Pradana

KATA PENGANTAR

     Masjid Keraton Saka Tunggal terletak di Kompleks Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Masjid ini selesai dibangun pada tanggal 1 September 1972. Latar belakang dibangunnya masjid tersebut merupakan inisiatif masyarakat yang menginginkan adanya sebuah masjid untuk tempat ibadah karena sebelumnya masyarakat menggunakan bagian bangunan dari Taman Sari untuk beribadah. Masjid Kagungan Dalem Saka Tunggal terletak di Kompleks Keraton Kesultanan Yogyakarta, tepatnya Jalan Taman 1 No. 318, Patehan, Kecamatan Keraton, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta. Mudahnya, lokasi masjid ini berada di depan pintu masuk Tamansari. Atau lebih tepatnya, di sebelah selatan gerbang masuk ke area parkir Tamansari Yogyakarta. Masjid ini diberi nama Saka Tunggal, karena hanya ada satu saka (Jawa: tiang) yang berada di bagian dalam masjid tersebut, di mana umumnya masjid-masjid tradisional memiliki empat buah saka pada bagian dalam masjidnya.

LATAR BELAKANG

     Pembangunan masjid Saka Tunggal diresmikan oleh paduka Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada Rabu Pon, tanggal 28 Februari 1973 pukul 20.00 WIB. Kepanitian dibentuk guna memudahkan pembangunan Masjid Saka Tunggal.  Panitia awal dibentuk pada tanggal 21 Agustus 1967 yang diketuai oleh Imam Suhadi, S.H.  Hasil kepanitiaan tersebut mendapatkan Paring Dalem berupa tanah wakaf dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX seluas 900m2. Pada tanggal 27 Oktober 1970 dibentuklah kepengurusan kepanitiaan baru yang dipimpin oleh H. GBPH. Prabuningrat. Inti dari program baru tersebut adalah menggalang dana kepada pemerintah Republik Indonesia.

  Pada tanggal 5 Maret 1971, Presiden Soeharto berkenan untuk memberi bantuan dana sebesar Rp 5.670.000,00, diikuti dengan bantuan keduanya pada tanggal 4 April 1972 yang memberi tambahan dana sebesar Rp 2.031.000,00 di Jakarta, sehingga total seluruhnya berjumlah Rp 7.701.000,00.

KEUNIKAN

  • Keadaan Fisik Bangunan dan Maknanya

     Bangunan masjid Saka Tunggal direncanakan seluruhnya oleh R.Ng. Mintoboedojo (baca: Mintobudoyo) dengan luas masjid 10m x 16m dan serambi 8m x 6m, seluruhnya (dengan tanah) berjumlah 288m2. Keadaan fisik bagunan memiliki artinya masing-masing. Arsitek masjid ini bermaksud agar setiap orang yang shalat dikarunai kebahagiaan dunia dan akhirat. Bangunan pokok masjid mempunyai 4 buah Saka Brujung, Saka Bentung 4 buah, Saka Guru 1 buah, sehingga semuanya berjumlah 9 buah.

     Dengan demikian, untuk memperingati berdirinya masjid ini, dibuatlah sengkalan memet[1]  yang berbunyi, “Manunggaling Para Wali Hangreksa Agama” yang berarti sengkalan tahun 1391 Hijriah. sengkalan berikutnya terdapat pada bahu dan yang (krebil) berbunyi, “Parijata Datan Pisah Ekar Lelata”, yang berarti sengkalan tahun 1903 Saka / Jawa. Sengkalan yang lain terdapat pada ukuran singup (tutup uleng), pada keempatnya berbunyi, “Ron Sapto Sekar Lelata”, yang berarti sengkalan tahun 1971 Masehi. Adapun mengenai selesainya bangunan Masjid Saka Tunggal ini diberi sengkalan lombo sebagai berikut:

“Hanembah Trus Gunanging Janmo”
(1392 Hijriah)

“Catur Doso Hamengku Soko”
(1904 Saka/Jawa)

“Nayono Resi Anngotro Gusti”
(1972 Masehi)

  • Lambang Kekuatan Bangunan dan Maknanya

     Jika para jama’ah duduk di masjid, maka empat (4) buah Saka Bentung dan satu (1) Saka Guru akan terlihat. Semuanya berjumlah lima (5) buah, yang melambangkan Pancasila, sedangkan Saka Guru merupakan lambang sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.

[1] sengkalan dibagi dua, yaitu sengkalan memet dan sengkalan lamba. Sengakalan merupakan penulisan tahun dalam Tradisi Jawa. Sengakalan memet merupakan berupa gambar yang dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki makna tahun tertentu. Sengkalan lamba sama dengan sengkalan memet, namun dalam bentuk kalimat, bukan gambar.

Saka Guru
(Sumber: Dokumentasi Anisah Rizki P)

     Usuk Sorot yang memusat seperti jari-jari payung atau disebut juga dengan Peniung, merupakan lambang kewibawaan negara yang melindungi rakyatnya.

   Umpak Raksasa merupakan landasan utama dari seluruh kekuatan bangunan pokok. Berdasarkan narasumber, umpak atau batu penyangga tiang ini, diambil dari Desa Kerta, sebelah barat Keraton Pleret, tempat di mana Sultan Agung (Raja ke-3 Dinasti Mataram Islam) bertahta. Bentuk ukiran umpak pun mengandung arti dalam Islam.

Ukiran pada masjid Saka Tunggal mempunyai arti tertentu, untuk kewibawaan dan keindahan. Contohnya:

  1. Ukiran Probo berarti bumi, tanah, kewibawaan.
  2. Ukiran Saton berarti menyendiri, sawiiji.
  3. Sorot berarti sinar matahari.
  4. Tlacapan berarti panggah, tabah, dan tangguh.
  5. Ceplok berarti maejan, bahwa semuanya kelak akan dipanggil oleh Allah SWT.
  6. Lung-lungan Bunga berarti air suci, maka dinamai ukriran tetesan embun. Siapa yang shalat di masjid ini semoga mendapat anugerah Allah SWT.

Makna bentuk bangunan atau konstruksi, contohnya:

  1. Bahu Dayung berarti orang yang kuat dalam menghadapi godaan iblis angkara murka yang datangnya dari empat penjuru.
  2. Sunduk berarti menjalar untuk mencapai tujuan.
  3. Santen berarti suci (kejujuran).
  4. Uleng berarti wibawa.
  5. Bandoga berarti hiasan pepohonan tempat harta karun.
  6. Tawonan berarti penuh.

Makna Kekuatan rangka, contohnya:

  1. Saka Burjong berarti lambang mencapai keluhuran berwibawa.
  2. Dudur berarti lambang ke arah cita-cita kesempurnaan hidup.
  3. Sirah Godo berarti lambang kesempurnaan senjata yang ampuh, baik jasmani maupun rohani.
  4. Mustaka berarti lambang keluhuran dan kewibawaan.

Bagian Atap Masjid
(Dokumentasi: Anisah Rizki P)

     Secara keseluruhan, R.Ng. Mintoboedojo, sebagai penciptanya, ingin menyampaikan pelajaran tentang arti dan tujuan manusia hidup di dunia, yakni untuk mencapai kesempurnaan hidup. Barang siapa yang mempunyai cita-cita luhur tidak tercela dan ingin diridhoi oleh Allah SWT., maka harus mempunyai pikiran yang wening (jernih) dan sawiji (menyatu), dapat mengusir semua godaan dalam tubuh, yaitu aluamah, amarah, mutmainah, dan sufiyah. Setelah dapat menguasai godaan-godaan, jiwanya harus bersih, demi mencapai tujuan agar mendapat ketenteraman, kebahagiaan dunia dan akhirat, yang diridhoi oleh Allah SWT. Untuk mencapai cita-cita yang luhur dan berwibawa serta disegani, maka harus bijakasana, cerdas, berbudi luhur, sepi ing pamrih rawe ing gawe (kerja keras tanpa banyak mengharapkan imbalan). Selain itu, manusia juga harus sadar bahwa pada suatu saat dirinya akan dipanggil oleh Allah SWT. Oleh karena itu, marilah berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan supaya kelak dapat selamat dunia dan akhirat.

PEMANFAATAN MASA KINI

Jamaah sedang melaksanakan Shalat Fardu
(Sumber: Dokumentasi Anisah Rizki P)

     Bangunan Masjid Saka Tunggal masih asli dan tidak boleh dirubah apapun, kecuali saat dua kali renovasi pada tahun 1995 dan 2013. Maka, untuk memenuhi kegiatan di masjid tersebut, dibangunlah rest area yang merupakan penunjang dari masjid Saka Tunggal. Seiring berjalannya waktu, jamaah sampai hari ini cukup banyak mulai dari jamaah Shalat Jumat maupun Jamaah Shalat Fardu. Juga semakin banyaknya kunjungan di Tamansari, maka semakin banyak pula pengunjung Tamansari yang mampir untuk sholat di Masjid Saka Tunggal. Jadi, jagan lupa mampir ke masjid ini jika kalian pergi ke Tamansari ya.

TIKET MASUK

   Memasuki Masjid Saka Tunggal sama sekali tidak dikenakan biaya masuk, sama seperti masjid lain pada umumnya. Namun jika ada rezeki lebih, sekiranya jika berkenan dapat dimasukkan ke dalam kotak infaq yang terdapat di masjid tersebut.

DENAH LOKASI

[mappress mapid=”15″]

DAFTAR LITERATUR

Muhammad. (2018). Masjid Saka Tunggal, diakses dari https://www.localguidesconnect.com/t5/General-Discussion/Masjid-Saka-tunggal/td-p/1177617 , pada tanggal 25 Nov 2019.

Nanang, Sang. (2018). Masjid Saka Tunggal Taman Sari Yogyakarta, diakses dari https://sangnanang.com/2018/05/18/masjid-saka-tunggal-taman-sari-yogyakarta/ , pada 25 Nov 2019.

Sportourism. (2016). Makna di Balik Simbol Bangunan Masjid Soko Tunggal Yogyakarta, diakses dari https://sportourism.id/tourism/makna-di-balik-simbol-bangunan-masjid-soko-tunggal-yogyakarta , pada 18 Januari 2020.

Suharyani, Tri. (2016). Bentuk dan Makna Simbolik pada Arsitektur Masjid Kraton Saka Tunggal, Taman Sari, Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Thohari, Hamim. (2016). Masjid Keraton Soko Tunggal, Masjid Unik di Yogyakarta yang Hanya Punya Satu Tiang, diakses dari https://www.tribunnews.com/travel/2016/06/13/masjid-keraton-soko-tunggal-masjid-unik-di-yogyakarta-yang-hanya-punya-satu-tiang?page=all , pada 18 Januari 2020.

NARASUMBER

Drs. H. Suprapto, M.Pd., Takmir Masjid Sakatunggal

 

Masjid Pathok Negoro Mlangi

ArtikelCagar Budaya Thursday, 23 January 2020

Penulis: Burhanuddin Rachmat Chandra
Editor: Cerry Surya Pradana

LATAR BELAKANG DAN SEJARAH
     Masjid Pathok Negoro secara umum tidak hanya digunakan sebagai tempat beribadah dan penyebaran Agama Islam, akan tetapi masjid-masjid tersebut juga berfungsi sebagai tiang negara, keamanan, dan batas wilayah, serta sebagai pertahanan rakyat. Masjid Pathok Negoro Mlangi merupakan Masjid Pathok Negoro yang pertama kali didirikan dari Masjid Pathok Negoro yang lain. Masjid ini didirikan pada tahun 1755 M sebagai masjid yang berada di bawah naungan Kesultanan Keraton Yogyakarta. Nama Mlangi dapat berarti ‘mulangi’ yang berarti mengajar (mulang: mengajar). Nama tersebut diambil karena cita-cita Kyai Nur Iman untuk mengembangkan ajaran Islam sejak masih muda. Dalam sejarahnya, Kyai Nur Iman sama sekali tidak menginginkan tahta sebagai raja di Keraton Yogyakarta. Keteguhan hatinya untuk tetap mengabdi kepada agama, membuatnya memilih untuk mengabdikan dirinya di luar keraton.

Masjid Pathok Negoro Mlangi                           Sumber Dokumentasi: Burhanuddin Rachmat ChandraMasjid Pathok Negoro Mlangi
Sumber Dokumentasi: Burhanuddin Rachmat Chandra

     Pada tahun 1985 masyarakat Mlangi merenovasi Masjid Pathok Negoro Mlangi menjadi bangunan masjid yang berarsitektur modern. Renovasi tersebut telah menghilangkan ciri khas yang terdapat pada arsitektur Masjid Pathok Negoro. Ditetapkannya UU No 11 Tahun 2010 membawa Sultan Hamengku Buwono X untuk kembali menginstruksikan para pengurus masjid guna mengembalikan bangunan masjid ke bentuk asalnya (Hasil wawancara dengan M Aban Ichwan, takmir Masjid Pathok Negoro Mlangi dan andil dalam renovasi tahun 2012 di kediamannya pada tanggal 16 November 2016). Instruksi Sultan telah menuai pro dan kontra dalam masyarakat Mlangi, sehingga renovasi baru bisa dilaksanakan pada tahun 2012.

     Renovasi pada tahun 2012 dimulai dengan pemugaran atap utama masjid dengan pilar-pilar beton yang menopang atap. Dinding yang mengitari ruang utama masjid tetap dipertahankan. Kemudian melakukan pemilihan konstruksi-konstruksi bangunan masjid seperti tiang, kayu dan genteng. Dalam pemilihan konstruksi-konstruksi tersebut, dilakukan dengan kesepakatan antara pihak keraton dengan pengurus masjid (Hasil wawancara dengan GBPH Yudhaningrat dan M. Aban Ichwan). Setelah memilih konstruksi bangunan yang dibutuhkan sesuai kesepakatan bersama, renovasi masjid mulai dilakukan. Renovasi Masjid Pathok Negoro Mlangi pada tahun 2012 dilakukan dengan tiga tahap, yaitu tahap satu bagian utama masjid, tahap kedua bagian serambi masjid, dan tahap ketiga bagian luar masjid.

Suasana di dalam Masjid
Sumber Dokumentasi: Burhanuddin Rachmat Chandra

     Tahap pertama dimulai pada bulan Juni tahun 2012, atap masjid yang semula ditinggikan kemudian diturunkan. Penyangga atap yang terbuat dari beton semua dihancurkan. Hanya dinding yang mengitari ruang utama masjid yang masih dipertahankan. Konstruksi dinding yang dipertahankan hanya batu bata, sedangkan lapisan semen yang melapisi batu bata dihancurkan dan diganti dengan adonan semen yang baru. Selain itu, jendeladan pintu yang terdapat pada ruang utama masjid diganti dengan kayu. Sebelum empat saka guru didirikan, terlebih dahulu atap serambi masjid dihancurkan. Hal itu dilakukan untuk mempermudah pemasangan atap utama masjid. Setelah dinding selesai diperbaiki, pada bulan Oktober 2012 empat saka guru utama yang terdapat diruang utama masjid mulai didirikan. Setelah ruang utama masjid terselesaikan, dilanjutkan pada tahap kedua yaitu bagian serambi masjid. Pada tahap kedua, terlebih dahulu renovasi dilakukan dengan merobohkan seluruh konstruksi serambi masjid. Tahap ketiga renovasi pada halaman masjid, yang terdiri dari kolam dan bangsal.

Berfoto dengan H Aban Ichwan di Kediaman Beliau
Sumber Dokumentasi: Burhanuddin Rachmat Chandra

     Setelah mengembalikan kolam yang terdapat di sekeliling masjid, dibangunlah bangsal di bagian depan masjid. Bangsal dibangun di sisi kanan dan kiri halaman masjid. Bangsal ini dibangun layaknya bangunan pendopo pada umumnya, hanya saja bangsal tersebut tidak dikelilingi oleh dinding melainkan dikelilingi dengan pagar kayu yang tingginya hampir mencapai satu meter.

     Lingkungan sekitar Masjid Pathok Negoro Mlangi, yaitu padukuhan Mlangi, merupakan lingkungan di mana semua penduduknya memeluk Agama Islam. Pada tahun 1960-an hingga 1980-an, di Mlangi ada peraturan dalam pernikahan, yaitu harus menikah dengan saudara jauh yang berdomisili di Mlangi (Hasil wawancara dengan Pak H Aban Ichwan pada tanggal 5 Desember 2019). Hal ini agar masyarakat Mlangi semuanya rata beragama Islam. Di sekitar masjid juga terdapat banyak Pondok Pesantren, bahkan setiap padukuhan memiliki lebih dari satu pondok pesantren. Walaupun begitu, kedamaian tetap terjaga di Mlangi. Setiap setelah maghrib, semua masyarakat Mlangi masuk ke dalam rumah (tidak keluar) hingga tiba waktu Isya’. Tradisi setelah Maghrib ini masih bertahan hingga kini.

KEUNIKAN

Gapura NU
Sumber Dokumentasi: Burhanuddin Rachmat Chandra

     Masjid Pathok Negoro Mlangi adalah masjid yang bangunannya sedikit turun ke bawah. Di depan masjid ini terdapat gapura berwarna hijau yang bertuliskan NU. Gapura ini menandakan bahwa Masjid Pathok Negoro Mlangi adalah masjid yang jamaahnya berlandaskan ajaran Islam yang disebarkan oleh Nahdhatul Ulama. Setelah masuk gapura, terdapat jalan cor menuju ke masjid. Tepat di sebelah barat jalanan cor tersebut, terdapat makam. Di mana peletakan makam di bagian samping atau belakang masjid, merupakan hal yang wajar ada pada masjid-masjid di Jawa dan Madura. Keunikan lain yang dimiliki oleh masjid ini, sama seperti keunikan yang dimiliki oleh Masjid Pathok Negoro lainnya. Keunikan tersebut adalah adanya empat buah saka guru (tiang utama) yang terbuat dari kayu pada bagian utama masjid, terdapat parit keliling (jagang), dan bangunan masjid beratap tumpang.

Suasana di Dekat Gapura NU
Sumber Dokumentasi: Burhanuddin Rachmat Chandra

PEMANFAATAN MASA KINI
     Pada saat ini, Masjid Pathok Negoro Mlangi selain digunakan untuk sholat juga digunakan sebagai tempat wisata ziarah dan pengajian. Pengunjung wisata ziarah masjid ini adalah masyarakat biasa dan santri-santri dari pesantren. Menurut keterangan takmir masjid, pengunjung terbanyak biasanya datang pada hari minggu dan total pengunjung kurang lebih 10 bus perharinya.

Penampakan Serambi Masjid Pathok Negoro Mlangi
Sumber Dokumentasi: Burhanuddin Rachmat Chandra

TIKET MASUK
     Untuk masuk ke masjid ini tidak dibutuhkan biaya, tetapi disediakan kotak amal tepat setelah gapura NU sehingga untuk tiket masuk masjid ini seikhlasnya. Untuk ziarah, tidak diperlukan biaya untuk pemandunya, tetapi jika ingin ziarah dan di pandu harus ada janji sebelumnya dengan takmir masjid.

DENAH LOKASI

[mappress mapid=”13″]

REFERENSI

Azizah, Umi. 2017. Masjid Pathok Negoro Mlangi: Respon Masyarakat Mlangi Terhadap Renovasi Masjid Tahun 2012 M Yogyakarta: JUSPI.

Hatmoko, Widi. 2017. Jalan-jalan Religi ke Empat Masjid Pathok Negoro di Yogyakarta.    Diakses dari https://merahputih.com/post/read/jalan-jalan-religi-ke-empat-masjid-  pathok-negoro-di-yogyakarta pada tanggal 5 Desember 2019

Rahmawati, Indri. 2014. Arsitektur Masjid Pathok Negoro Ditinjau Dari Fungsi, Bentuk,      Ruang dan Teknik. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Umaiyah, Siti. 2018. Masjid Mlangi, Tempat ‘Mulangi’ Ajaran Islam di Yogyakarta, diakses            dari https://jogja.tribunnews.com/2018/05/28/masjid-mlangi-tempat-mulangi-ajaran-      islam-di-yogyakarta, pada 5 Desember 2019.

12

Berita Terakhir

  • Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran
  • Masjid Pathok Negoro Dongkelan Yogyakarta
  • Masjid Kagungan Dalem Keraton “Saka Tunggal” Yogyakarta
  • Masjid Pathok Negoro Mlangi
  • Situs Warungboto Sebagai Harapan Mengais Rejeki Warga Sekitar
Universitas Gadjah Mada

Alamat Instansi
Nomor Telepon Instansi
Email Instansi

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY