Lampah Budaya Mubeng Beteng

LAMPAH BUDAYA MUBENG BETENG

Oleh: Shintanur Mutiara Dewi

Editor: Cerry Surya Pradana

A. Pengantar

     Secara adat tradisi, masyarakat Jawa khususnya di lingkungan keraton masih menggunakan kalender tersebut sebagai patokan. Kalender Jawa sendiri memiliki sistem yang hampir mirip dengan Kalender Hijriah. Pembedanya adalah perhitungan matematisnya. Secara kebetulan, 1 (satu) Suro sering bersamaan dengan 1 Muharram pada kalender Hijriah. 1 Suro atau tahun baru Islam 1 Muharram 1441 jatuh pada hari Minggu, 1 September 2019. Bagi orang Jawa, malam 1 Suro dinilai memiliki makna mistis yang lebih dibandingkan hari-hari atau malam-malam biasanya.

     Pada malam 1 Suro, bagi para penganut Kejawen (kepercayaan tradisional masyarakat Jawa) merupakan malam yang cocok untuk melakukan ritual yang bisa digunakan untuk menginstropeksi diri, ada beberapa kegiatan yang biasanya dilakukan di waktu malam 1 Suro. Keraton Surakarta misalnya, pada malam 1 Suro biasanya akan menjamas (memandikan) pusaka-pusaka keraton termasuk mengirab kerbau bule, Kiai Slamet. Sementara di Yogyakarta, ada tradisi jamasan dan tradisi mubeng beteng Keraton Yogyakarta. Tradisi mubeng beteng juga disebut dengan tradisi topo (tapa atau bertapa) bisu atau puasa berbicara.

     Orang yang mengikuti mubeng beteng tidak boleh saling berbicara, karena momen ini merupakan momen yang sangat pas dan tepat untuk mengintropeksi diri dan merefleksikan diri menjadi lebih baik, serta mengingat kesalahan masa lalu yang pastinya tidak akan dilakukan dikemudian hari. Ritual Lampah Budaya Mubeng Beteng merupakan salah satu kegiatan atau ritual yang diikuti oleh abdi dalem, prajurit keraton juga masyarakat umum pada malam 1 Suro.

B. Latar Belakang/Sejarah

     Mubeng beteng merupakan tradisi asli Jawa yang berkembang pada abad ke-6 sebelum Mataram-Hindu. Tradisi Jawa ini disebut muser yang artinya mengelilingi pusat, dalam hal ini artinya mengelilingi pusat wilayah desa. Sumber sejarah yang lain mengatakan, mubeng beteng merupakan tradisi Jawa-Islam yang dimulai ketika Kerajaan Mataram (Kotagede) membangun benteng mengelilingi kerajaan atau keraton yang kemudian selesai pada tanggal 1 Suro 1580. Setelah itu para prajurit rutin mengelilingi benteng untuk menjaga dari ancaman musuh. Setelah dibangunnya parit, tugas berkeliling digantikan oleh abdi dalem agar tidak terkesan seperti militer. Para abdi berkeliling dengan membisu sambil membacakan doa-doa dalam hati agar mereka diberi keselamatan.

     Tradisi mubeng beteng ini sebenarnya tidak hanya berada seputaran benteng Keraton Kasultanan Yogyakarta, tetapi juga ada mubeng kuthagara dan mancanegara. Karena Keraton merupakan pusat pusat negara, keraton dikelilingi oleh kutha negara, dan kuthanegara dikelilingi oleh mancanegara. Mancanegara yang dimaksud adalah daerah di luar wilayah kasultanan tetapi masih di wilayah Kerajaan Yogyakarta.

     Karena hal tersebut, mubeng beteng setiap tahunnya selalu diikuti oleh ribuan masyarakat tidak hanya dari dalam Yogyakarta, tetapi juga luar Yogyakarta yang memang ingin berlaku batin atau mereka yang ingin merasakan aura hening dari lampah tapa bisu itu. Sampai saat ini tradisi yang tetap lestari ini sebagai rangkaian acara perayaan malam tahun baru Islam yang dimulai dari Bangsal Ponconiti Keraton Yogyakarta atau Kamadhungan Lor, menuju Ngabean, Pojok Beteng Kulon, Plengkung Gading, Pojok Beteng wetan, Jalan Ibu Ruswo, Alun-alun Utara dan kembali lagi ke Kamadhungan Lor. Laku tapa bisu ini berlangsung tepat pada tengah malam tanggal 1 Suro, setelah Putri Sultan, Gusti Mangkubumi dan Gusti Condrokirono, memberangkatkan pasukan.

     Laku tapa bisu ini merupakan simbol keprihatinan serta kesiapan masyarakat Yogyakarta khususnya penganut kejawen untuk menghadapi tahun yang akan datang. Diharapkan mereka bisa lebih mawas dan tidak berpuas diri dengan segala sesuatu yang telah diraih pada tahun sebelumnya.

     “Dengan adanya tapa bisu ini, diharapkan semua masyarakat yang ikut bisa merefleksikan diri dan mengintropeksi diri akan apa yang tekah dilakukan setahun lalu. Dan berdo’a untuk kebaikan di tahun yang baru, tahun yang akan datang”, kata Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Harjono Nitidipuro, salah satu abdi dalem Keraton Yogyakarta yang menjadi panitia pelaksana Lampah Budaya Mubeng Beteng tahun 2019 ini.

C. Keunikan

Pembacaan macapat sebelum tapa bisu (Dokumentasi oleh Shintanur Mutiara)

     Ribuan orang mengikuti tradisi Lampah Budaya Mubeng Beteng dalam menyambut 1 Sura 1953. Sejak sore masyarakat mulai berdatangan ke Kagungan Dalem Ponconiti Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Di tempat ini rangkaian acara ritual Lampah Budaya Mubeng Beteng digelar. Sebelum memulai Lampah Budaya, akan dibacakan tembang-tembang Jawa, tetembangan (lagu) Jawa yang dibawakan menggambarkan do’a-do’a yang dipanjatkan. Pilihan tembang yang dinyanyikan berputar sekitar tembang macapat Dhandhang Gula. Karena tembang Dhandhang Gula sendiri memiliki watak atau sifat yang luwes dan mengenakkan. Cocok sebagai pembuka suatu pembelajaran, rasa cinta. Lambang dari tembang ini adalah kisah anak muda yang mengalami kejadian yang indah. Sehingga diharapkan dengan menggunakan tembang Dhandhang Gula ini bisa membuka tahun yang baru mejadi lebih baik dan lebih penuh dengan rasa cinta tanpa kebencian.

     Dalam Lampah Budaya ini mereka berjalan berlawanan dengan arah jarum jam, yaitu dari barat, ke selatan, ke timur lalu ke utara dan kembali ke tempat semula. Selepas dari Bangsal Ponconiti, rombongan berjalan menuju jalan Rotowijayan, jalan Agus Salim, Jalan KH Wahid Hasyim, Pojok Beteng Kulon, Plengkung Gading, Pojok Beteng Wetan, jalan Brigjen Katamso, jalan Ibu Ruswo, Alun-Alun Utara dan kembali ke Bansal Ponconiti sebagai akhir dari prosesi Lampah Budaya Mubeng Beteng.

     Dalam tradisi Lampah Budaya Mubeng Beteng Keraton Ngayogyakarta ini ada satu pantangan yang harus ditaati oleh peserta. Pantangan tersebut adalah tidak boleh bersuara apalagi berbicara dengan peserta lainnya. Pantangan ini disebut dengan tradisi Tapa Bisu atau puasa bicara. Tapa Bisu ini juga menjadi ajang peserta Lampah Budaya Mubeng Beteng untuk melakukan intropeksi diri atas apa yang telah diperbuat selama setahun yang lalu, serta mengingatkan diri sendiri untuk selalu memperbaiki diri di tahun-tahun yang akan datang.

     Ada satu hal yang unik dalam pembacaan macapat Dhandhang Gula, yaitu macapat Dhandhang Gula yang mengartikan salah satu surat dalam Al-Qur’an yaitu surat Al-Fatihah. Jadi Lampah Budaya ini tidak semerta-merta hanya berkaitan dengan kejawen saja, namun juga berkaitan dengan religi khususnya Islam.

     Tradisi Lampah Budaya Mubeng Beteng ini juga diikuti oleh berbagai kalangan dan dari luar daerah Yogyakarta. Ada yang berasal dari Jawa Timur, Jawa Barat, hingga warga negara Prancis pun turut serta, walau warga negara Prancis ini sudah sekitar empat tahun tinggal di Indonesia, khususnya Yogyakarta. Hal tersebut menandakan bahwa banyak orang yang sangat tertarik dengan adanya ritual ini, ada diantara mereka yang mengikuti ritual ini mengatakan bahwa ini bukan sekadar ritual budaya, tapi ajang untuk intropeksi diri menjadi lebih baik.

D. Prosesi

     Prosesi Lampah Budaya Mubeng Beteng dimulai pukul 9 malam dengan menyanyikan tetembangan (lagu) Jawa melalui kidung yang dilaksanakan oleh beberapa Abdi Dalem. Dan dilanjutkan dengan do’a yang dipimpin oleh Mas Lurah Abdul Syaiful setelah itu pembagian makanan kepada masyarakat yang berada di sekitar Bangsal Ponconiti malam itu, sebagai bagian dari sedekah Keraton untuk masyarakat.

     Pembacaan tembang macapat berlangsung sekitar dua jam lamanya, setelah masuk sekitar pukul 11 malam semuanya hening sejenak. Ada beberapa abdi dalem yang sibuk mempersiapakan bendera atau klebet yang hendak dibawa saat Lampah Budaya Mubeng Beteng. Bendera tersebut berjumlah delapan klebet, lima diantaranya adalah bendera tiap kabupaten di Yogyakarta. Bendera-bendera tersebut antara lain Bendera Merah Putih (Bendera NKRI), Bendera Gula Klapa (Bendera Kasultanan), Klebet Budi Wadu Praja (DIY), Klebet Bangun Tolak (Yogyakarta), Klebet Mega Ngampak (Sleman), Klebet Podang Ngisep Sari (Gunungkidul), Klebet Pandan Binetot (Bantul), dan Klebet Pareanom (Kulonprogo).

     Selanjutnya sekitar pukul setengah sebelas malam ada pembagian beberapa bunga melati kepada masyarakat yang ikut dalam ritual Lampah Budaya ini. Tidak semua masyarakat dapat, hanya beberapa yang berada di barisan depan dan berani berdesak-desakan. Sempat hampir ricuh juga saat prosesi pembagian bunga melati ini, dikarenakan banyak orang yang berada dibelakang memaksa kedepan untuk mendapatkan bunga tersebut, sampai dari penjaga pihak keraton memaksa beberapa untuk mundur kembali. Setelah hampir ricuh saat pembagian bunga melati, pihak keraton meminta masyarakat yang berada di sebelah barat Bangsal Ponconiti untuk berpindah ke sebelah timur, dikarenakan bagian barat dari bangsal akan menjadi jalan keluar atau jalur pemberangkatan pasukan dalam Lampah Budaya Mubeng Beteng ini.

     Beberapa menit setelah itu tepatnya pukul 12 malam, lonceng Kyai Brajanala di Regol Keben dibunyikan sebanyak 12 kali, menandakan prosesi Lampah Budaya akan dimulai. Para abdi dalem berpakaian Jawa Pranakan tanpa mengenakan keris berjalan tanpa mengenakan alas kaki. Dua Putri Sultan, GKR Mangkubumi, GKR Candrakirono dan Mantu Dalem Sultan, KPH Purbodiningrat bertugas untuk memberangkatkan pasukan meninggalkan area Bangsal Ponconiti. Sebelum berangkat KPH Purbodiningrat melakukan pembarian sumping melati kepada para pasukan. Dilanjutkan dengan pembarian dwaja Bendera Merah Putih menandakan peserta Lampah Budaya Mubeng Beteng akan segera diberangkatkan.

     Pasukan abdi dalem dan masyarakat yang mnegikuti Lampah Budaya ini akan berjalan sejauh kurang lebih 4 km, berangkat dari Bangsal Ponconiti dan kembali lagi ke Bangsal Ponconiti. Setelah Lampah Budaya selesai, masyarakat dan abdi dalem dipersilahkan kembali ke rumah masing-masing dan beristirahat. Ada satu hal yang hasus diingat bahwa Lampah Budaya Mubeng Beteng ini bukan merupakan hajad keraton atau acara milik keraton sendiri, melainkan hajad dari masyarakat Yogyakarta dan keraton hanya memfasilitasi hajad dari masyarakat itu sendiri.

E. Dokumentasi

Narasumber:

KRT. Harjono Nitidipuro (Abdi Dalem Keraton Yogyakarta)

Sumber Bacaan:

Cahyana, Ludhy (ed). 2019. Sultan HB X Minta Aset Keraton Yogyakarta Dilestarikan, https://travel.tempo.co/read/1243919/sultan-hb-x-minta-aset-keraton-yogyakarta-dilestarikan, diakses 6 September 2019 pukul 09.50 WIB.

Keraton Jogja. 2019. Pemberian Dwaja Merah-Putih, Menandai Peserta Lampah Budaya Mubeng Beteng Segera Diberangkatkan, https://twitter.com/keratonjogja/status/1167846598161793024, diakses 4 September 2019 pukul 16.00 WIB.

Rossa, Vania. 2019. Lampah Budaya Mubeng Beteng Digelar, Ini Makna Ritual di Baliknya, https://www.suara.com/lifestyle/2019/09/01/095007/lampah-budaya-mubeng-beteng-digelar-ini-makna-ritual-di-baliknya, diakses 3 September 2019 pukul 15.30 WIB.

Sudjatmiko, Tomi (ed). 2019. Mubeng Beteng Keraton Yogyakarta, https://krjogja.com/web/news/read/108691/Mubeng_Beteng_Keraton_Yogyakarta, diakses 4 September 2019 pukul 16.40 WIB.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.